Metode Tafsir Khashaishi
Trilogi Metode Penafsiran Al-Qur’an
(Tafsir Bentang Sejarah - Tafsir Khasaisi-Tafsir Jawa)
(2) Tafsir Khashaishi
Oleh M. Saifuddin
Tafsir Khashaishi (التفسير الخصائصيّ) adalah metode penafsiran al-Qur’an yang merupakan turunan dari metode tafsir Tahlili (meski tidak lepas dari penggunaan metode maudlu’i dan maudli’i). Hanya saja, metode tafsir khashaishi menitikberatkan pada kajian dan analisis linguistik untuk mendapatkan penafsiran-penafsiran yang menegaskan keistimewaan (Mumaغyazat-Khashaish) al-Qur’an sebagai kalam Allah yang mengandung I’jaz yang sama sekali berbeda dengabn perkataan makhluk.
Landasan Teori:
1. Al-Qur’an mu’jiz bi kulli harfin min hurufihi (القرآن معجز بكل حرف من حروفه).
Satu huruf dari al-Qur’an tidak boleh diganti dengan huruf yang lain apalagi dihilangkan. Ibn Mubarak menukil dari al-Arif Billah Abdul Aziz ad-Dabbagh mengatakan: Rasm al-Qur’an adalah salah satu rahasia Allah yang bisa disaksikan dan kesempurnaan keluhuran. Tidak seorangpun –tidak sahabat, tidak pula lainnya- yang berhak menambah atau mengurangi satu hurufpun. Dalam konteks ini Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: Haram hukumnya menyalahi penulisan Mushaf Usmani, baik dalam huruf Wawu, Ya’, Alif, atau lainnya.
Dengan demikian, kalau satu huruf saja tidak bisa diganti, ditambahkan atau dihilangkan dari al-Qur’an, maka min baabi aula katta, kalimat di dalamnya. Hal ini karena setiap huruf mempunyai arti khusus.
2. La Taradufa fil-Qur’an (لا ترادف في القران), (tidak ada sinonimitas dalam al-Qur’an). Ada tidaknya sinonimitas dalam al-Qur’an bisa dirujuk kepada ada tidaknya sinonimitas dalam bahasa. Hanya saja untuk yang terakhir, para sarjana lebih permisif dalam mengafirmasinya. Karena bahasa adalah alat komunikasi antar manusia, kita dengan kita, yang terkadang memerlukan dua atau lebih kosa kata untuk satu arti. Sementara al-Qur’an adalah sarana dialog Yang Maha Sempurna dengan makhluk-Nya, semuanya tanpa batas teritorial, suku, warna kulit, bakan agama dan bahasa. Adalah suatu keniscayaan, kalau demikian, ketika Allah memilih kata tertentu dalam setiap kalimat, konteks yang disampaikannya. Penggunaan kosakata-kosakata yang semakna dengan suatu kosa-kata dalam al-Qur’an oleh para mufassir lebih untuk memudahkan pemahaman audiens mereka terhadap kosa-kata al-Qur’an tersebut, dari pada sebuah afirmasi akan adanya sinonimitas dalam al-Qur’an.
Dalam konteks ini Ibn Taimiyah mengatakan: sinonimitas dalam bahasa adalah sangat sedikit. Adapun dalam al-Qur’an sangat jarang atau malah tidak ada sama sekali. Az-Zarkasyi lebih detail mengatakan: seorang mufassir musti memperhatikan penggunaan-penggunaan al-Qur’an terhadap kata, kalimat di dalamnya, dan memastikan tidak/adanya sinonimitas. Karena suatu kata ketika sudah masuk dalam struktur kalimat maka sudah mempunya arti tersendiri.
3. Puzzle Game System. Ibarat permainan puzzle (merangkai gambar yang terpotong-potong), metode tafsir khasaisi menganggap al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh, rapi dan teratur. Lalu oleh penafsir metode ini ‘diacak-acak’ untuk dirangkai kembali demi mendapatkan suatu keyakinan bahwa susunan al-Qur’an adalah yang paling tepat dan indah.
Dua teori di atas akan dijadikan landasan dalam metode tafsir khasaisi, karena bisa membuka jalan lebar untuk memperoleh pemaknaan al-Qur’an sebagai kalam Allah yang istimewa dan penuh I’jaz yang mengagumkan
Langkah-langkah penafsiran menggunakan metode tafsir khasaisi
1. Al-Furuq al-Lafdhiyyah (الفروق اللفظيّة): artinya penafsiran dengan menggunakan metode ini berusaha mencari jawaban dari pertanyaan mengapa al-Qur’an memilih suatu kata tertentu bukan kata yang lain yang sinonim. Misalnya, dalam surah al-Fatihah Allah memilih kata Al-Hamdu (), bukan al-Madhu (المدح), ats-Tsana’u (الثناء)و atau asy-Syukru (الشكر).
Tafsir Khasaisi tidak hanya sekedar mencari perbedaan antar lafadz-lafadz tersebut, tapi juga upaya agar sampai pada satu pemahaman bahwa kata Al-Hamdu itulah yang memang tepat diplih pada surah Al-Fatihah ayat : 2.
2. Al-Furuq at-Tarkibiyyah (الفروق التركيبيّة): penafsiran dengan metode khasaisi berusaha menjawab pertanyaan mengapa dalam suatu ayat atau stuktur kalimat menggunakan bentuk jumlah ismiyyah misalnya, bukan jumlah fi’liyyah. Misalnya, mengapa Allah menggunakan struktur Alhamdulillahi Rabbil Alamin (Jumlah Ismiyyah-mubtada’khabar) bukan jumlah fi’liyyah seperti Ahmadullah Rabbal ‘Alamin. Atau Hamdan Lillahi Rabbil 'Alamin.
Penafsiran dengan metode ini akan mengungkap perbedaan makna yang ada dari jumlah ismiyyah, jumlah fi’liyyah dan sebagainya. Setelah itu akan digali rahasia penggunaan jumlah ismiyyah dalam surah Al-Fatihah : 2 –misalnya-, untuk dicapai kesimpulan bahwa pemilihan tersebut adalah tepat, dalam kapasitas al-Qur’an sebagai kalam Allah yang berbeda dengan perkataan manusia.
3. Khashais fil Mawadli’ (خصائص في المواضع)(karakteristik/keistimewaan-keistimewaan dalam posisi). Ini dibagi dalam beberapa macam, yaitu:
a. Posisi ayat dalam surat tertentu. Misalnya, mengapa ayat Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin (الحمد لله رب العالمين) terletak dalam surah Al-Fatihah?, ayat tersebut juga ada dalam surah Yunus: 10, Ash-Shaffat: 182, Az-Zumar: 75, Ghafir: 65. Mengapa demikian? Apa rahasianya?.
Penelusuran ini dimaksudkan untuk menggali rahasia posisi suatu ayat dan sampai pada kesimpulan bahwa penempatan atau di suatu tertentu adalah tepat.
b. Posisi ayat terletak sebelum ayat tertentu dan terletak setelah ayat tertentu. Ini yang biasa disebut dengan metode maudli’i (موضِعيّ), di mana suatu ayat diapit oleh ayat sebelumnya (sibaq = سباق) dan ayat sesudahnya (lihaq = إلحاق ), Kecuali ayat pertama dan terakhir dalam suatu surah. Posisi tersebut tentu menyimpan rahasia dan makna yang dalam. Tafsir dengan metode khashaisi menguaknya dengan metode maudhi’i (موضِوعيّ) itu sendiri juga dengan metode puzzle game. Yakni mencoba meletakkan suatu ayat bukan pada posisinya. Misalnya meletakkan ayat Maliki Yaumiddin (4) pada posisi Ar-Rahman ar-rahim (3). Bagaimana perbandingan makna yang ditimbulkan karena pergantian posisi tersebut?. Ini untuk memperoleh suatu kesimpulan bahwa peletakan ayat tertentu pada posisi tertentu adalah yang paling tepat dan indah.
c. Posisi suatu lafadz dalam ayat tertentu. Ini seperti pada poin (a). Ada beberapa lafadz yang hanya tersebut sekali dalam al-Qur’an, seperti ratqan (رتقا), dua kali dalam Al-Qur’an, seperti Qinthar (قنطار) dan seterusnya. Penafsiran dengan metode ini mencoba menguak rahasia penyebutan lafadz dengan jumlah tertentu, juga rahasia mengapa lafadz-lafadz tersebut diletakkan dalam ayat-ayat tertentu.
d. Posisi suatu lafadz yang diapit oleh lafadz sebelumnya (sibaq = سباق) dan lafadz lain setelahnya (lihaq = إلحاق ). Mekanisme poin ini seperti pada poin (b). sebagai contoh, lafadz Awalam Yara (اولم ير)/ Awalam Yarau (اولم يروا) diletakkan dalam ayat untuk mengkhithabi orang-orang kafir/zalim dan sejenisnya. Pemilihan suatu lafadz di sini, pun penempatan dalam suatu posisi terdapat rahasia keindahan dan kedalaman arti. Tafsir dengan metode khashaisi mencoba menguaknya untuk sampai pada kesimpulan bahwa kalamullah sama sekali berbeda dengan perkataan manusia.
4. Al-Farqu bain Kalam Allah wa Kalam al-Basyar (الفرق بين كلام الله وكلام البشر). Pada tahapan ini, penafsiran dengan metode khashaishi membandingkan bagaimana suatu tema tertentu diungkapkan oleh al-Qur’an di satu sisi, dan diungkapkan oleh manusia di sisi lain. Misalnya tentang perintah puasa Ramadhan. Bagaimana cara al-Qur’an mengungkapkannya –sebagaimana dalam surah al-Baqarah : 183 dan bagaimana Nabi Muhammad saw. mengungkapkannya dalam hadis-hadis beliau. Dari perbandingan ini akan diperoleh sisi-sisi keistimewaan dan kelebihan pengungkapan (ta’bir) Al-Qur’an dengan ta’bir manusia. Sampai pada titik ini perlu diperhatikan bahwa al-Qur’an bukanlah kitab fiqih, sejarah atau ilmu kalam. Meski ilmu-ilmu tersebut menggali dari al-Qur’an sebagai salah satu sumber utamanya.
Oleh karena itu, penafsiran terhadap suatu ayat tidak mesti sesuai dengan produk fiqih misalnya. Sebab penafsiran (baca: pemahaman) akan suatu ayat adalah sesuatu. Sedangkan hukum suatu masalah adalah sesuatu yang lain. Misalnya ayat 38 tentang hukum potong tangan. Barangkali seorang penafsir dengan kaca mata tafsirnya (pemahamannya akan ayat tersebut) sampai pada titik pemahaman yang berbeda dengan fiqih, meski dalam tataran tentang hukum orang yang mencuri adalah potong tangan adalah sama antara penafsir tersebut secara pribadi dengan produk fiqih.
5. Simpulan dan implementasi.
(G-Hamzah/ms2f)
Komentar
Posting Komentar