Rebo Wekasan - Yusuf Suharto - Aswaja Center Jombang


REBO WEKASAN
Oleh Yusuf Suharto
Ketua Aswaja NU Center Jombang, Kontributor NU Online



Malam ini adalah malam Rabu Legi sekali malam Rabu terakhir di bulan Shafar yang menurut orang Jawa dikenal dengan Rebo Wekaasan. Dalam konteks ini saya sampaikan ulang (repost) penjelasan mengenai ini yang pernah disampaikan oleh Ketua Aswaja NU Center Jombang, Bapak K. Yusuf Suharto sebagai berikut

Bulan Shafar adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang  tidak memiliki kehendak dan  berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa'um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangan muslimin hingga saat ini. Sayyiduna Abu Hurairah ra. berkata, Rasul Allâh saw. bersabda yang artinya:
"Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu, dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa." (H.R.Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits “laa ‘adwaa” (tidak ada penularan penyakit) itu bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah. Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah.

Dalam kesempatan yang lain Rasul Allah saw. bersabda (yang artinya): 
“Janganlah onta yang sakit didatangkan pada onta yang sehat”. 

Maksud hadits “laa thiyaarota” (tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk) adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu-waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasul Allâh saw. dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allâh, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah dihadapkan pada perkara-perkara tersebut. 
Bila seorang muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan.

Pertama: menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya.
Kedua: tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah. 

Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.

Muktamar NU ketiga menjawab pertanyaan “Bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan”, sebagaimana tercantum dalam kitab “Lathaiful Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyyah berikut ini:
“Barangsiapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan, dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua itu”. (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).

Indikasi Kesialan dalam Al-Qur`ân  dan Hadits mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Ta’ala:
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ (18) إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ (19) تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ (20)
(Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus-menerus, yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbang). (Q.S al-Qamar (54:18-20). 

Imam al-Bagawi dalam tafsir Ma’alim at-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahs mustammir)  tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah “Rabu Wekasan”.

Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus-menerus. Istilah hari naas yang terus-menerus (yawmi nahsin mustammir) juga terdapat dalam hadits nabi. Tersebut dalam Faidl al-Qadir juz 1, hal. 45, Rasul Allâh saw. bersabda:
أَخر الأربعاء في الشهر يوم نحس مستمر
(Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus). 

Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus-menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah. 

Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur Fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur yang menjelaskan:
Banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. 

Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca do’a, maka Allah  dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian): 
Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus-menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tashawwuf, namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas shalat hajat lidaf’I al-bala’ al-makhuf (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah muthlaqah (sholat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. 

Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, K.H. Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus-menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan: “Naas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madlaratnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…, artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari, karena ternyata pada hari itu ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.
Wallahu ‘A’lam. (MS2F)


Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/41663/penjelasan-mengenai-rebo-wekasan
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id 
 
Diposting ulang oleh (repost by) Mahlail Syakur Sf. (Ketua LTN PWNU Jawa tengah, Dosen FAI Unwahas) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amalan Rebo Wekasan

Rebo Wekasan Perspektif Syekh AbdulHamid - Kang Syakur

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa-Tribun Jateng