Halal bi-Halal - Aswaja Center Unwahas

Halal*Halal Bihalal*
M. Saifuddin (Aswaja Center UNWAHAS)
Terma Halal Bihalal mengingatkan kita pada ungkapan dalam disiplin fiqih Islam, tepatnya dalam muamalah. Di situ banyak kita jumpai ungkapan seperti Yadan bi Yadin, Naqdan bi Naqdin. Artinya  jual beli kontan yang selesai dalam satu majlis. Atau dengan ungkapan lain najizan bi najizin, Ajilan bi Ajilin. Ada juga ungkapan mastalan bi matsalin/mitslan bi mitslin (mumastalah). Yakni jual beli di mana penjual dan pembeli saling memberikan barang yang mempunyai nilai sama. Intinya, muamalah yang diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan di atas artinya muamalah (interaksi) yang sepadan, dalam satu majelis dan kedua belah pihak punya posisi yang sama. 
Sibawaih mengatakan bahwa ungkapan yadan bi yadin dan sejenisnya adalah ungkapan yang dibuat untuk menduduki posisi mashdar. Baya’tuhu yadan bi yadin artinya Baya’tuhu muyaadaatan : aku melakukan jual beli dengan seseorang dengan cara aku menyerahkan barang/uang dari tanganku kepada tangan orang itu. Dengan kata lain, makna ungkapan di atas adalah akhadza minni wa a’thoni (seseorang mengambil/mendapatkan sesuatu dariku sembari dia memberikan sesuatu kepadaku). 
Terma halal bihalal (baca : halalan bi halalin) –dengan demikian- maknanya tidak berbeda dari terma-terma di atas. Yakni adanya interaksi dua pihak dalam posisi setara dan terjadi dalam satu majlis. Ada nuansa at-Tabadul di situ (saling menerima-saling memberi). Satu pihak meminta kehalalan atas hak yang diambil dari pihak lain sembari memberikan kehalalan atas kesalahan pihak lain kepadanya. Atau seseorang memberikan buah tangan yang halal kepada orang lain, dan dia mendapatkan hadian/angpau. 
Pemilihan terma halalan bi halalin mengindikasikan bahwa setiap manusia ada kemungkinan besar mempunyai dosa/kesalahan kepada orang lain. Oleh karena itu yang diperlukan bukan hanya sekedar meminta maaf (isti’arah, qardh) atau memberi maaf (hadiah, hibah) di mana salah satu pihak aktif sedang pihak lain pasif, atau satu pihak sebagai subyek sedang pihak lain adalah obyek.
Sampai di sini kita bisa melihat kejellian ulama Nusantara (baca : NU) dalam membina, mendidik dan menata bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. 
Wallahu A’lam Bihalal
M. Saifuddin
(Aswaja Center UNWAHAS)



Terma Halal Bihalal mengingatkan kita pada ungkapan dalam disiplin fiqih Islam, tepatnya dalam muamalah. Di situ banyak kita jumpai ungkapan seperti Yadan bi Yadin, Naqdan bi Naqdin. Artinya  jual beli kontan yang selesai dalam satu majlis. Atau dengan ungkapan lain najizan bi najizin, Ajilan bi Ajilin. Ada juga ungkapan mastalan bi matsalin/mitslan bi mitslin (mumastalah). Yakni jual beli di mana penjual dan pembeli saling memberikan barang yang mempunyai nilai sama. Intinya, muamalah yang diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan di atas artinya muamalah (interaksi) yang sepadan, dalam satu majelis dan kedua belah pihak punya posisi yang sama.
Sibawaih mengatakan bahwa ungkapan yadan bi yadin dan sejenisnya adalah ungkapan yang dibuat untuk menduduki posisi mashdar. Baya’tuhu yadan bi yadin artinya Baya’tuhu muyaadaatan : aku melakukan jual beli dengan seseorang dengan cara aku menyerahkan barang/uang dari tanganku kepada tangan orang itu. Dengan kata lain, makna ungkapan di atas adalah akhadza minni wa a’thoni (seseorang mengambil/mendapatkan sesuatu dariku sembari dia memberikan sesuatu kepadaku).
Terma halal bihalal (baca : halalan bi halalin) –dengan demikian- maknanya tidak berbeda dari terma-terma di atas. Yakni adanya interaksi dua pihak dalam posisi setara dan terjadi dalam satu majlis. Ada nuansa at-Tabadul di situ (saling menerima-saling memberi). Satu pihak meminta kehalalan atas hak yang diambil dari pihak lain sembari memberikan kehalalan atas kesalahan pihak lain kepadanya. Atau seseorang memberikan buah tangan yang halal kepada orang lain, dan dia mendapatkan hadian/angpau.
Pemilihan terma halalan bi halalin mengindikasikan bahwa setiap manusia ada kemungkinan besar mempunyai dosa/kesalahan kepada orang lain. Oleh karena itu yang diperlukan bukan hanya sekedar meminta maaf (isti’arah, qardh) atau memberi maaf (hadiah, hibah) di mana salah satu pihak aktif sedang pihak lain pasif, atau satu pihak sebagai subyek sedang pihak lain adalah obyek.
Sampai di sini kita bisa melihat kejellian ulama Nusantara (baca : NU) dalam membina, mendidik dan menata bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.
Wallahu A’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amalan Rebo Wekasan

Rebo Wekasan Perspektif Syekh AbdulHamid - Kang Syakur

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa-Tribun Jateng