Hukum Menyentuh Terjemah al-Qur`an - LTNJateng

Hukum Menyentuh Terjemah al-Qur'an

oleh H. Mahlail Syakur Sf. 



Membaca al-Qur`an terjemahan saat ini sudah banyak dilakukan oleh siapa pun, khususnya orang-orang yang ingin mengetahui kandungan arti kata yang terlafalkan dalam al-Qur`an. Bagi orang yang tak memiliki pengetahuan bahasa Arab yang memadai, al-Qur`an terjemahan pun menjadi solusi paling mudah.

Masalahnya adalah apakah al-Qur`an terjemahan statusnya sama dengan al-Qur`an tanpa terjemah, sehingga dalam memegang dan membawanya wajib dalam keadaan suci dari hadats? Atau hukumnya berbeda?


Kaidah Umum

Kaidah yang harus diketahui sebelum menjawab pertanyaan ini adalah bahwa al-Qur`an menjadi hilang kewajiban memegangnya dalam keadaan suci ketika di dalamnya lebih dominan penafsiran al-Qur`an dari pada teks asli al-Qur`an dalam segi hurufnya. Dalam artian, jika jumlah huruf al-Qur`an dikalkulasikan (menurut sebagian pendapat, jumlah huruf al-Qur`an sebanyak 162.671) masih tidak sebanding dengan jumlah huruf yang ada pada tafsir al-Qur`an. Sehingga diperbolehkan  menyentuhnya meski tanpa wudlu, sebab hal tersebut tidak lagi dinamakan mushaf al-Qur`an tetapi beralih menjadi kitab Tafsir al-Qur`an. Hal ini sebagaimana yang sering dilihat dalam kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid seperti tafsir Fakhr ar-RaziyAl-QurtubiyIbnu katsir, dll. 






Sedangkan untuk kitab tafsir al-Jalalain menurut sebagian pendapat jumlah hurufnya lebih banyak dua huruf jika dibandingkan dengan huruf al-Qur`an sehingga boleh menyentuhnya tanpa wudlu. Meski demikian para ulama tetap menganjurkan siapapun yang membawa kitab tafsir al-Jalalain, misalnyaagar tetap dalam keadaan suci, sebab dikhawatirkan adanya kesalahan cetakan atau penulisan dalam kitabnya hingga akhirnya mengurangi jumlah huruf tafsiran yang ada pada kitab tafsir al-Jalalain tersebut.




Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah terjemahan al-Qur`an dihukumi sebagai tafsir al-Qur`an?


Antara Terjemah dan Tafsir 

Dalam kitab Manahil al-'Irfan dijelaskan bahwa terjemah terbagi menjadi dua sebagai berikut: 

  • Terjemah harfiyyah, yakni penerjemahan al-Qur`an per kata dengan memberikan pada masing-masing kata dalam al-Qur`an dengan makna yang sesuai (dalam hal ini menggunakan bahasa Indonesia) tanpa adanya loncatan penerjemahan untuk mewujudkan runtutan arti yang sesuai. 
  • Terjemah tafsiriyyah, yaitu penerjemahan al-Qur`an yang lebih dominan dalam hal mewujudkan rangkaian makna yang sesuai dan mudah dipahami, sehingga penerjemahan dengan model seperti ini sering terjadi loncatan kata yang terdapat dalam al-Qur`an. (Lihat Az-Zarqaniy, Manahil al-'Irfan, juz 2, h. 80).

Terjemahan yang biasanya ditemui dan digunakan oleh khalayak umum adalah termasuk dalam kategori terjemah Tafsiriyyah, sebab jika diteliti secara mendalam banyak sekali ditemukan lompatan-lompatan makna yang tidak sesuai dengan runtutan kata yang terdapat dalam al-Qur`an. Hal ini dikarenakan tujuan penulisan terjemah tersebut lebih ke arah memahamkan pembaca pada maksud dalam kata al-Qur`an secara umum, bukan mengartikan per-kosa kata dalam al-Qur`an.

Segala jenis terjemah, baik terjemah tafsiriyyah ataupun harfiyyah tidak berstatus sebagai tafsir yang dapat merubah al-Qur`an menjadi dapat dipegang meski dalam keadaan hadats, karena arti tafsir sendiri adalah:

وان التفسير: هو التوضيح لكلام الله تعالى سواء كانت بلغة الأصل {اللغة العربية} أم بغيرها، بطريق اجمالي أو تفسيري، متناولا كافة المعانى والمقاصد أو مقتصرا على بعضها دون بعض

(Tafsir adalah memperjelas kalam Allah, baik dengan menggunakan bahasa asli (bahasa Arab) atau dengan Bahasa yang lain. Baik penjelasan secara global ataupun dengan cara penafsiran . mencakup terhadap keseluruhan makna dan maksud dalam al-Qur`an ataupun meringkas dengan sebagian makna dan tujuan tanpa menjelaskan makna dan tujuan yang lain). (Lihat az-Zarqaniy, Manahil al-Irfan, Juz 2, h. 80)


Hukum Terjemah 

Terjemah al-Qur`an bukanlah sesuatu yang memperjelas kandungan makna dalam al-Qur`an, akan tetapi sekadar mengartikan kata yang terdapat dalam al-Qur`an, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir. Oleh sebab itu, orang yang memegang terjemahan wajib dalam keadaan suci ketika memegang atau membawa Terjemah al-Qur`an (al-Qur`an terjemahan). Hukum ini ditegaskan oleh Syekh Nawawi dalam kitab Nihayah az-Zain

أما ترجمة المصحف المكتوبة تحت سطوره فلا تعطي حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه وحمله كما أفتى به السيد أحمد دحلان

(Adapun terjemahan mushaf Al-Qur’an yang ditulis dibawah kertas dari mushaf maka tidak dihukumi sebagai tafsir, akan tetapi tetap berstatus sebagai mushaf yang haram memegang dan membawanya (dalam keadaan hadats), hukum ini seperti halnya yang difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan). (Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain juz. 1, h. 33)

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa status terjemah al-Qur`an (terjemahan al-Qur`an) tetap dihukumi sebagai al-Qur'an yang wajib membawa dan memegangnya dalam keadaan suci. 

Demikianlah, dan semoga bermanfa'at. Wa-Allah a’lam bis-shawa<MS2F>

=========*********
Penulis: H. Mahlail Syakur Sf. (Dosen FAI Unwahas, Ketua LTN PWNU Jawa Tengah) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amalan Rebo Wekasan

Rebo Wekasan Perspektif Syekh AbdulHamid - Kang Syakur

Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa-Tribun Jateng